Kamis, 17 Mei 2012

Kerajaan Sintang

Sejarah awal Kerajaan Sintang dimulai ketika seseorang bernama Aji Melayu datang ke daerah Kujau sekitar abad ke-4 Masehi. Kedatangan Aji Melayu ternyata membawa kebudayaan Hindu masuk ke ranah Melayu di Kalimantan Barat, khususnya ke daerah Sintang. Di Kujau, Aji Melayu mengawini seorang gadis bernama Putung Kempat dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Dayang Lengkong (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:15).
Setelah beberapa lama menetap di Kujau, Aji Melayu berpindah ke Nanga Sepauk hingga meninggal di sana dan dimakamkan di Tanah Tanjung, daerah Muara Sungai Sepauk. Setelah Aji Melayu meninggal, berturut-turut penguasa di Nanga Sepauk adalah Dayang Lengkong, Dayang Randung, Abang Panjang, Demong Karang (berkuasa sekitar abad ke-7 M), Demong Kara, kemudian Demong Irawan (J.U. Lontaan, 1975:197). Pada masa Demong Irawan berkuasa, Kerajaan Sintang resmi berdiri, yaitu sekitar abad ke-13 (± 1262 M) (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:19).
Sebelum mendirikan Kerajaan Sintang, Demong Irawan melakukan pengembaraan dengan menyusuri Sungai Kapuas yang akhirnya sampai ke daerah pertemuan antara Sungai Kapuas dan Melawi yang disebut daerah Nanga Lawai. Di daerah ini kemudian didirikan permukiman yang berkembang menjadi sebuah kerajaan yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Sintang. Raja pertama Kerajaan Sintang adalah Demong Irawan yang bergelar Jubair I (± 1262 M) (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:19).
Berdirinya Kerajaan Sintang yang kala itu masih bercorak Hindu ternyata sanggup menarik penduduk sekitar daerah Nanga Lawai untuk datang dan mendirikan permukiman baru. Berkembangnya permukiman di sekitar Nanga Lawai ternyata menarik perhatian Patih Logender dari Kerajaan Singasari yang kala itu turut serta dalam Ekspedisi Pamalayu I pada tahun 1275 M (M.D. Mansoer, et.al., 1970:51).
Kedatangan Patih Logender beserta pengikutnya disambut baik oleh Jubair I. Bahkan Patih Logender diizinkan untuk tinggal di Kerajaan Sintang, diangkat menjadi penasehat, dan dikawinkan dengan puteri Jubair I yang bernama Dara Juanti (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:19). Setelah Jubair I meninggal pada tahun 1291 M, Dara Juanti naik tahta menjadi raja di Kerajaan Sintang, sedangkan Patih Logender tetap dijadikan penasehat raja.
Tidak jelas siapa raja pengganti setelah Dara Juanti. Hanya saja sekitar tahun 1640 M terdapat raja bernama Abang Samad yang memerintah Kerajaan Sintang (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:25-26). Setelah Abang Samad turun tahta, berturut-turut posisi raja ditempati oleh Jubair II, Abang Suruh, Abang Tembilang, Pangeran Agung (1640 - 1715 M), Pangeran Tunggal (1715-1725 M), dan Raden Paruba (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:26).
Raja terakhir ketika Kerajaan Sintang masih dalam pengaruh Hindu adalah Raden Purba. Raden Purba memerintah di Kerajaan Sintang sampai sekitar akhir abad ke-18, bersamaan dengan masuknya pengaruh Islam ke Kerajaan Sintang dan Kapuas Hulu. Sebelum meninggal, disebutkan bahwa Raden Purba telah memeluk agama Islam (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:29).
b. Masuknya Islam dan Perubahan Bentuk Kerajaan menjadi Kesultanan Sintang
Proses masuknya budaya Islam ke Kalimantan Barat, termasuk ke Kerajaan Sintang, diyakini melalui aliran Sungai Sambas, kemudian menyebar ke Singkawang, Mempawah, dan Pontianak dengan menyusuri Sungai Kapuas. Selanjutnya, penyebaran dilakukan melalui Sungai Landak masuk ke daerah Tayan, Sintang, dan Nanga Pinoh. Dari daerah Sintang, dakwah Islam menyusuri Sungai Kapuas sampai daerah Putussibau. Penyebaran ini berlangsung sekitar tahun 1500 - 1800 M (Hermansyah, 2006:2-4 dan Syahzaman & Hasanuddin, 2003:30).
Pengaruh Islam mulai masuk ke Kerajaan Sintang ketika kerajaan ini diperintah oleh Raden Purba. Setelah Raden Purba meninggal, tahta Kesultanan Sintang dipegang oleh Adi Nata bergelar Sultan Nata Muhammad Syamsuddin Sa‘adul Khairiwaddin. Sultan Nata merupakan putera dari Mangku Malik dan Nyai Cilik (adik Pangeran Tunggal).
Pemerintahan Sultan Nata ditandai dengan berbagai macam perubahan yang sifatnya mendasar. Perubahan paling signifikan adalah bergantinya bentuk kerajaan menjadi kesultanan dan penyusunan undang-undang kesultanan (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:30). Undang-undang Kesultanan Sintang tersebut memuat tata kehidupan masyarakat Sintang dan adat istiadatnya.
Pengganti Sultan Nata adalah Ade Abdurrahman yang bergelar Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin atau biasa dikenal dengan nama Sultan Aman (1150 – 1200 H) (Hermansyah, 2006:5). Pemerintahan Sultan Aman ditandai dengan kewajiban menanam padi di setiap perdesaan, pemantauan hasil kerja rakyat oleh kepala kampung setiap dua bulan dan melaporkannya kepada raja muda (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:68). Raja muda adalah golongan bangsawan yang diangkat sebagai wakil pemerintah pusat di daerah bawahan.
Pada tahun 1200 H, Sultan Aman meninggal dunia. Kepemimpinan di Kesultanan Sintang diteruskan oleh puteranya yang bernama Ade Abdurrasyid yang bergelar Sultan Abdurrasyid. Selanjutnya Sultan Abdurrasyid mengangkat adiknya yang bernama Raden Machmud sebagai mangkubumi (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:73).
Masa pemerintahan Sultan Abdurrasyid dikenal sebagai masa perkembangan dunia keilmuan (khususnya kesusastraan) dan kesenian. Keterbukaan terhadap pengaruh luar, dalam hal ini kesusastraan dan kesenian, memungkinkan perkembangan di kedua bidang ini bisa terealisasi di Kesultanan Sintang. Perkembangan ilmu kesusastraan Islam di wilayah Kesultanan Sintang masuk melalui Selat Malaka, Serawak, dan Pontianak (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:74).
Perkembangan tersebut tidak dari lepas campur tangan para pedagang yang membawa pula beberapa karya sastra dalam perdagangan. Beberapa kitab kesusastraan yang turut serta dibawa antara lain Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Umarmayah, Hikayat Landahor, Syair Yatim Mustafa, dan Kitab Tajul Muluk (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:74).
Kekuasaan Sultan Abdurrasyid berakhir dengan meninggalnya beliau pada tahun 1795 M. Pengganti kedudukan Sultan Abdurrasyid adalah Ade Noh, putera Sultan Abdurrasyid yang dinobatkan dengan gelar Pangeran Ratu Ahmad Kamaruddin (Sultan Ahmad Kamaruddin) (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:86). Untuk membantu menjalankan pemerintahan, Sultan Ahmad Kamaruddin mengangkat putera dari Raden Machmud (adik Sultan Abdurrasyid) yang bernama Adi Muhammad Djoen sebagai mangkubumi.
c. Masa Kolonialisme di Kesultanan Sintang
Pada bulan Juli 1822, pasukan Belanda dengan bersenjata lengkap dipimpin oleh J.H. Tobias, Commisaris dari West Kust van Borneo, datang ke Kesultanan Sintang (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:88). Tobias menyatakan bahwa maksud kedatangannya ke Kesultanan Sintang adalah untuk membantu mengamankan Kesultanan Sintang dari berbagai ancaman, khususnya ancaman dari luar.
Untuk pertama kalinya, terjadi pertemuan antara Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang diwakili oleh J.H. Tobias dan Sultan Ahmad Kamaruddin selaku wakil dari Kesultanan Sintang. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan awal bahwa orang-orang Belanda diizinkan tinggal di wilayah kekuasaan Kesultanan Sintang.
Beberapa waktu kemudian, Sultan Ahmad Kamaruddin jatuh sakit kemudian meninggal dunia dan dimakamkan di permakaman raja-raja Sintang di Kampung Sungai Durian Sintang (komplek makam raja-raja Sintang). Tahta Kesultanan Sintang akhirnya beralih ke putera sulung Sultan Ahmad Kamaruddin yang bernama Gusti Djemani dan bergelar Pangeran Sukma (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:88).

Komplek Makam Raja-raja Kesultanan Sintang di Kampung Sungai Durian, Sintang
Pangeran Sukma tidak sepakat dengan kebijakan Sultan Ahmad Kamaruddin yang mengizinkan Belanda untuk tinggal di wilayah Kesultanan Sintang. Mengetahui ketidakberpihakan penguasa yang baru, Belanda melancarkan taktik devide et impera (adu domba) untuk menjamin keberadaannya di Kesultanan Sintang.
Belanda mempengaruhi Gusti Muhammmad Djamaluddin, adik Sultan Sukma untuk menggulingkan kekuasaan sang kakak (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:88). Taktik Belanda berhasil sehingga Gusti Muhammmad Djamaluddin duduk sebagai sultan menggantikan Sultan Sukma. Gusti Muhammmad Djamaluddin akhirnya diangkat menjadi sultan dengan gelar Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin. Sedangkan jabatan mangkubumi diserahkan kepada Pangeran Adipati Muhammad Idris Kesuma Negara  (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:88). 
Pada masa pemerintahan Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin, untuk kedua kalinya Belanda datang ke Kesultanan Sintang, yaitu pada bulan September 1822 di bawah pimpinan Pegawai Tinggi, Dj. Van Dungen Gronovius dan Cf. Goldman serta Pangeran Bendahara Pontianak, Syarif Ahmad Alqadri (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:88).  Kedatangan Belanda disambut baik oleh Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin. Bahkan kemudian Belanda dan Kesultanan Sintang sepakat untuk menjalin kerjasama di bidang perdagangan (kontrak sementara atau voorloopig contract).
Kontrak ini menyebutkan bahwa Belanda akan menetap untuk sementara waktu di wilayah kekuasaan Kesutanan Sintang (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:88). Berawal dari kontrak sementara ini, Belanda menyusun taktik untuk terus mengikat bahkan jika memungkinkan untuk menguasai Kesultanan Sintang.
Tujuan Belanda untuk mengikat bahkan menguasai Kesultanan Sintang akhirnya berhasil dengan ditandatanganinya kontrak permanen pada tanggal 24 November 1823, yang antara lain berisi: Pangeran sebagai penguasa dan pembesar di Kerajaan Sintang mengakui Belanda sebagai penguasa tertinggi atas penduduk, tanah, dan segala kekayaan yang terdapat di dalamnya sebagai wujud persahabatan; Belanda sanggup melindungi keturunan sultan; dan orang Cina, Melayu, Bugis, dan semua orang asing harus tunduk kepada kekuasaan Belanda (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:93-97).
Setelah penandatanganan kontrak kedua (24 November 1823), Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membangun benteng pertahanan dan menambah jumlah serdadu yang dilengkapi dengan persenjataan dan sebuah kapal penjelajah. Selanjutnya, Belanda membuka kantor Asisten Residen di Tanah Tanjung (sekarang Kampung Tanjung Puri), dengan menempatkan H. van Cafferon sebagai Asisten Residen Sintang (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:97).
Pada tanggal 2 Desember 1823, kembali diadakan penandatanganan perjanjian antara Kesultanan Sintang yang diwakili oleh Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin dengan Pemerintah Hindia Belanda. Perjanjian ketiga ini semakin menunjukkan dominasi kekuatan politik Belanda atas Sintang.
Pada tanggal 19 November 1847 di Pontianak, kembali Kesultanan Sintang dihadapkan pada perjanjian keempat kalinya dengan Belanda. Isi pokok dari perjanjian 19 November 1847 menekankan kepada Kesultanan Sintang dan seluruh menterinya untuk tidak mengadakan hubungan dengan orang kulit putih lain atau bangsa lain (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:98).
Guna memuluskan langkah untuk mengikat bahkan menguasai Kesultanan Sintang secara menyeluruh, kembali Belanda mengadakan perjanjian dengan Kesultanan Sintang pada tanggal 31 Maret 1855 (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:100). Isi dari kontrak yang memuat 23 pasal tersebut antara lain: Kesultanan Sintang tidak boleh mengikat perjanjian dengan kerajaan asing; Setiap pergantian sultan harus seizin Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan segala perjanjian yang terdahulu yang bertentangan dengan isi kontak panjang (perjanjian 31 Maret 1855) dianggap tidak berlaku (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:100-101).
Dengan ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 31 Maret 1855, berarti mulai saat itulah Kesultanan Sintang secara politik mengakui kedaulatan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebagai penguasa di Kesultanan Sintang. Belanda telah menguasai dan mengikat Kesultanan Sintang sepenuhnya.
d. Masa Perlawanan terhadap Kolonialisme
Perjanjian yang dilakukan antara Belanda dan Kesultanan Sintang pada tanggal 31 Maret 1855, ternyata berakibat pada berbagai perlawanan yang terjadi di wilayah Kesultanan Sintang. Bisa dikatakan, perlawanan pertama dilakukan oleh Pangeran Idris Kesuma Negara selaku mangkubumi di Kesultanan Sintang. Pangeran Idris melihat bahwa perjanjian 31 Maret 1855 berakibat buruk bagi rakyat dan kemunduran di berbagai bidang, terutama politik dan ekonomi. Ketidaksetujuan Pangeran Idris atas perjanjian tersebut berakibat dengan dicopotnya jabatan mangkubumi oleh Belanda (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:101).      
Ternyata peristiwa pencopotan jabatan mangkubumi merupakan titik awal perlawanan di wilayah Kesultanan Sintang. Atas pencopotan jabatan mangkubumi, Pangeran Idris bersama dengan Pangeran Kuning, Pangeran Anum, dan Pangeran Muda keluar dari birokrasi istana dan pergi menuju Nanga Kayan untuk menyusun kekuatan perlawanan (Lontaan, 1975:203).
Perang pertama meletus pada tanggal 5 Oktober 1856 di Tanah Tanjung. Pasukan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Muda menyerang benteng Belanda di Tanah Tanjung. Dalam pertempuran tersebut, pihak Pangeran Muda terdesak dan mundur ke kubu pertahanan Pangeran Idris Kesuma (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:106).
Perlawanan kembali dilanjutkan oleh Pangeran Idris Kesuma. Akan tetapi lagi-lagi perlawanan tersebut kandas di tengah jalan karena Pangeran Idris Kesuma ditangkap dan dibuang ke Karawang (Jawa Barat) dan meninggal dalam pembuangan pada tahun 1857 (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:107).
Di tengah gencarnya perlawanan terhadap Belanda, Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin meninggal pada tahun 1855. Tahta Kesultanan Sintang diserahkan kepada puteranya yang bernama Adi Abdurrasyid Kesuma Negara yang bergelar Panembahan Abdurrasyid.
Di masa pemerintahan Sultan Adi Abdurrasyid Kesuma Negara, perlawanan kembali bergolak. Kali ini dipimpin oleh Pangeran Anum, Pangeran Muda, Muhammad Saleh, dan Nibung. Pada tanggal 11 November 1856, pasukan Pangeran Anum menggempur benteng Belanda yang berada di Tanah Tanjung (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:108).
Putera Pangeran Kuning yang bernama Pangeran Muda melanjutkan perlawanan yang telah dimulai ayahnya yang gugur pada tahun 1857. Bersama dengan Pangeran Mas Nata Wijaya, Mohammad Saleh, dan Nibung mereka melancarkan aksi perlawanan yang kemudian dikenal sebagai Perang Tebidah I. Nama Tebidah diambil dari nama tempat di mana mereka melakukan perlawanan selama 3 tahun (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:109-110). Pada tahun 1860, Pangeran Muda meninggal dan dimakamkan di dekat makam ayahnya di daerah Teluk Sedaga (Lontaan, 1975:205 dan Syahzaman & Hasanuddin, 2003:110).
Perlawanan serupa akhirnya menjalar di berbagai daerah di wilayah Kesultanan Sintang. Sebut saja  perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Mas, seorang pangeran yang berasal dari Banjar di tepi Sungai Barito pada tahun 1867; Perlawanan di daerah Tempunak yang dipimpin oleh Abang Kadri pada tahun 1869; Perang Mensiku yang berlangsung pada tanggal 10 Maret 1874 di bawah pimpinan Padung dari Suku Dayak Ketungau; Perlawanan yang dipimpin oleh Raden Paku di daerah Melawi pada tahun 1880; dan Perang Tebidah II antara 13 Agustus-18 Oktober 1890 (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:113-115).
Perang Tebidah II berlangsung ketika Kesultanan Sintang diperintah oleh Panembahan Abang Ismail yang naik tahta menggantikan Panembahan Abdurrasyid. Setelah Perang Tebidah II, Panembahan Abang Ismail meninggal dunia pada tanggal 12 Desember 1905 dan dimakamkan di permakaman raja-raja Sintang di Kampung Sungai Durian. Tahta Kesultanan Sintang beralih kepada puteranya yang bernama Gusti Abdul Majid dan  bergelar Panembahan Abdul Majid Pangeran Ratu Kesuma Negara yang dikuatkan dengan sumpah jabatan tertanggal 26 Januari 1906 (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:120 dan 122).
Pada masa pemerintahan Panembahan Abdul Majid, kembali Belanda memperbaharui kontrak politik dengan Kesultanan Sintang pada tahun 1913. Kontrak tersebut memuat 3 hal, yaitu (1) Dibuat pemisahan administrasi antara keuangan Belanda dan Kesultanan Sintang; (2) Semua penduduk laki-laki di atas usia 18 tahun diwajibkan membayar pajak kepala (belasting); dan (3) Hak atas tanah bangsawan dicabut dan langsung disita oleh Pemeirntah Hindia Belanda (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:121).   
Panembahan Abdul Majid merupakan sultan yang selalu berseberangan paham dengan Belanda. Tekanan yang terus dilakukan Belanda untuk segera menandatangani kontrak politik 1913, berujung dengan sikap anti-Belanda yang membuat Panembahan Abdul Majid menyusun siasat perlawanan terhadap Belanda. Terjadilah Perang Panggi yang menewaskan seorang perwira Belanda yang bernama Kapten Pienar. Panggi merupakan nama dari salah satu dari tiga nama pemimpin perlawanan dari suku Dayak. Dua pimpinan perlawanan lainnya bernama Runguk dan Rangas (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:123).
Setelah penangkapan dan pembuangan Panembahan Abdul Majid, terjadi kekosongan tahta di Kesultanan Sintang. Belanda kemudian menunjuk Ade Mohammad Djoen, sepupu dari Penembahan Abdul Madjid, sebagai wakil pemerintahan Kesultanan Sintang karena para putera Panembahan Abdul Majid belum dewasa dan masih bersekolah di HIS (Hollands Inlandsche School) (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:126).

Ade Mohammad Djoen
Ade Mohammad Djoen memulai pemerintahan dengan merevolusi sistem pendidikan yang berujung dengan dibangunnya sekolah HIS di Kampung Tanjung Puri, Sintang dengan kepala sekolah bernama W.B. Pabst (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:127). Ade Mohammad Djoen juga mewajibkan kepada seluruh rakyat di Kesultanan Sintang untuk bersekolah. Anak-anak yang bertempat tinggal di pedalaman seperti Serawai, Ambalau, dan lain-lain, dipaksa untuk bersekolah dan tinggal di istana Kesultanan Sintang. Sedangkan bagi keluarga yang tidak mampu disediakan bantuan yang diusahakan oleh Ade Mohammad Djoen (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:128-129).
Pada tahun 1937, Raden Abdul Bachri Danu Perdana, putera dari Sultan Panembahan Abdul Majid, naik tahta menggantikan kedudukan Ade Mohamamad Djoen sebagai wakil pemerintahan Kesultanan Sintang. Sebenarnya di dalam tradisi di Kesultanan Sintang, penerus tahta yang sah adalah putera sulung Sultan Panembahan Abdul Majid yang bernama Raden Abdurrachman Panji Negara. Akan tetapi beliau menolak dan melepaskan haknya kepada adiknya, Raden Abdul Bachri Danu Perdana (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:133).
Sebagai penguasa di Kesultanan Sintang, Raden Abdul Bachri Danu Perdana mengambil sikap tidak mau bekerjasama dengan Belanda. Sikap yang sama ditunjukkan ketika Pemerintah Kolonial Hindia Belanda telah digantikan oleh Pemerintah Pendudukan Dai Nippon (Jepang) yang datang ke Kota Sintang pada tanggal 16 Februari 1942 dan menggantikan kedudukan Belanda sebagai penguasa baru di Kesultanan Sintang (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:133).

Raden Abdul Bachri Danu Perdana dan R. Fatimah Zuhra Halijah.
Foto diambil pada tahun 1934
Sikap Raden Abdul Bachri Danu Perdana untuk menolak bekerjasama dianggap sebagai ancaman oleh Pemerintah Kolonial Dai Nippon. Akhirnya sekitar tahun 1944, Pemerintah Dai Nippon menangkap Raden Abdul Bachri Danu Perdana beserta kedua saudara kandungnya, yaitu Raden Abdurrahman Panji Negara dan Raden Syahdan Syahkobat Indra beserta para bangsawan Sintang dengan tuduhan melakukan gerakan perlawanan di bawah tanah untuk menentang keberadaan Dai Nippon (Jepang) di Sintang dan Kalimantan Barat pada umumnya. Akhirnya setelah dipenjara selama 2 bulan, Raden Abdul Bachri Danu Perdana beserta para bangsawan Kesultanan Sintang lainnya dibawa ke daerah bernama Mandor (sekarang Kecamatan Mandor, Kabupaten Pontianak) dan dibunuh (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:144).    
e. Kesultanan Sintang  di Era Kemerdekaan Republik Indonesia
Setelah terjadi pembunuhan terhadap Raden Abdul Bachri Danu Perdana dan para bangsawan Sintang di Mandor, terjadi kekosongan pemerintahan di Kesultanan Sintang. Kekosongan pemerintahan ini berakhir pada tahun 1946, ketika Sultan Hamid II selaku wakil dari Kementrian Republik Indonesia datang ke Kesultanan Sintang untuk menunjuk Raden Syamsuddin, putera dari Raden Abdurrahman Panji Negara (kakak dari Raden Abdul Bachri Danu Perdana) untuk diangkat sebagai kepala Kesultanan Sintang. Pada bulan Juli 1946, Raden Syamsuddin dilantik sebagai Panembahan Kesultanan Sintang oleh Residen Borneo (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:152-153).
Pengangkatan Raden Syamsuddin sebagai Panembahan Kesultanan Sintang tidak bertahan lama karena enam bulan setelah pengangkatan, Raden Syamsuddin ditangkap dengan tuduhan akan mengadakan perlawanan dengan para pejuang Merah Putih melawan pendudukan Belanda (Nederlandsch Indiƫ Civil Administratie atau NICA yang datang ke Sintang pada bulan Mei 1946 bersama dengan pasukan Sekutu). Pejuang Merah Putih adalah sebutan bagi para pejuang yang terlibat perlawanan di Nanga Pinoh pada tahun 1946 yang dikenal dengan Perang Merah Putih (1946-1949) (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:153-154).
Setelah penangkapan terhadap Raden Syamsuddin, kembali terjadi kekosongan pemerintahan di Kesultanan Sintang. Untuk mengisi kekosongan pemerintahan tersebut, Asisten Residen Beuwkes mengambil alih pucuk pimpinan di Sintang (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:153).
Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), yang sesuai dengan isi Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada tanggal 2 Desember 1949, secara langsung turut berpengaruh terhadap eksistensi Kesultanan Sintang. Sesuai dengan kesepakatan untuk membentuk RIS, maka Indonesia dibagi ke dalam 16 negara bagian, termasuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Pada tanggal 17 Agustus 1950, terjadi perubahan dari RIS ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perubahan bentuk tersebut mengubah status Kesultanan Sintang menjadi swapraja yang kemudian menyerahkan (melebur) kekuasaannya ke dalam NKRI. Ketika status kesultanan berubah menjadi swapraja, Kesultanan Sintang dipimpin oleh Sultan Ade Mohammad Johan (Lontaan, 1975:199). Berdasarkan peleburan tersebut maka status swapraja mulai dihapus dan dilebur ke dalam Karesidenan Kalimantan Barat dengan gubernur pertamanya Aji Pangeran Aflus (Syahzaman & Hasanuddin, 2003: 165-166).                     
2. Silsilah
Berikut ini merupakan silsilah raja/sultan yang pernah berkuasa di Kerajaan kemudian berganti menjadi Kesultanan Sintang. Penyebutan raja mulai berlaku pada masa pemerintahan Demong Irawan (Jubair I). Sebelum Demong Irawan berkuasa, sejak masa Aji Melayu sampai Demong Minyak, penyebutan raja belum lazim. Mereka masih disebut penguasa daerah Nanga Sepauk (Melawi). Silsilah para raja/sultan berikut ini dirangkum dari dua buku, yaitu J.U. Lontaan (1975, Sejarah-Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan-Barat) dan Syahzaman & Hasanuddin (2003, Sintang dalam Lintasan Sejarah). Silsilah para raja/ sultan di Kesultanan Sintang yang dapat ditemukan adalah:
  1. Aji Melayu
  2. Dayang Lengkong
  3. Dayang Randung
  4. Abang Panjang
  5. Demong Karang (berkuasa sekitar abad ke-7 M)
  6. Demong Kara
  7. Demang Minyak
  8. Demong Irawan sebagai raja pertama Kerajaan Sintang yang bergelar Jubair I (± 1262-1291 M)
  9. Dara Juanti (naik tahta pada tahun 1291 M)
  10. Abang Samad (memerintah pada tahun 1640 M
  11. Jubair II
  12. Abang Suruh
  13. Abang Tembilang
  14. Pangeran Agung (1640-1715 M)
  15. Pangeran Tunggal (1715-1725 M)
  16. Raden Paruba (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:26).
  17. Adi Nata bergelar Sultan Nata Muhammad Syamsuddin Sa‘adul Khairiwaddin
  18. Sultan Aman (1150 – 1200 Hijriah)
  19. Ade Abdurrasyid yang bergelar Sultan Abdurrasyid (meninggal pada tahun 1795 M)
  20. Ade Noh bergelar Pangeran Ratu Ahmad Kamaruddin
  21. Gusti Djemani bergelar Pangeran Sukma
  22. Gusti Muhammmad Djamaluddin bergelar Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin (meninggal pada tahun 1855)
  23. Adi Abdurrasyid Kesuma Negara bergelar Panembahan Abdurrasyid
  24. Panembahan Abang Ismail (meninggal pada tanggal 12 Desember 1905)
  25. Gusti Abdul Majid yang bergelar Panembahan Abdul Majid Pangeran Ratu Kesuma Negara (sumpah jabatan pengangkatan beliau sebagai sultan dilakukan pada tanggal 26 Januari 1906)
  26. Ade Mohammad Djoen
  27. Raden Abdul Bachri Danu Perdana (1937-1944)
  28. Raden Syamsuddin (naik tahta pada tahun 1946)
  29. Sultan Ade Mohammad Johan (bertahta sampai status Kesultanan Sintang berubah menjadi swapraja dan dilebur ke dalam NKRI pada tahun 1949)
3. Sistem Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Pangeran Tunggal (1715-1725 M), dilakukan pelapisan sosial di dalam golongan bangsawan, yaitu golongan bangsawan hilir dan hulu. Golongan bangsawan hilir adalah golongan yang kegiatannya banyak dilakukan di luar lingkungan istana. Golongan ini sangat berpengaruh di dalam masyarakat di daerah-daerah bawahan kerajaan. Sedangkan golongan bangsawan hulu adalah para keturunan bangsawan yang menjadi menteri atau mangkubumi secara turun temurun. Mangkubumi berfungsi apabila raja berhalangan menjalankan pemerintahan atau disebabkan karena sesuatu hal sehingga tidak dapat menjalankan pemerintahan. Dalam situasi ini maka untuk sementara waktu yang berkuasa adalah mangkubumi (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:38-39).
Pada masa pemerintahan Sultan Nata, dilakukan beberapa perubahan dalam sistem pemerintahan di Kerajaan Sintang. Dalam menjalankan pemerintahan, Sultan Nata dibantu oleh mangkubumi dan beberapa orang menteri yang sekaligus merangkap sebagai panglima perang. Sultan juga membentuk badan pengadilan yang bertugas mengadili segala perkara dan pelanggaran yang dilakukan oleh rakyat. Badan pengadilan ini terdiri dari alim ulama Islam, pemuka-pemuka adat Dayak atau tumenggung, dan pemuka masyarakat. Di ibukota kerajaan juga dibangun gudang-gudang makanan yang bertujuan menampung bahan makanan dari daerah-daerah bawahan dan berada di bawah pengawasan seorang bendahara kerajaan (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:42).
Pemerintahan di daerah-daerah bawahan seperti Sepauk, Tempunak, Pinoh, Serawai, Kayan, Ketungau, dan lain-lainnya, dijalankan oleh raja muda yang diangkat oleh sultan. Dalam melaksanakan tugasnya, raja muda dibantu oleh tumenggung dan panglima adat. Sedangkan dalam suasana perang, panglima adat inilah yang akan memimpin pasukan di daerahnya. Setiap tahunnya daerah-daerah bawahan wajib menyerahkan penghasilan sebesar 25% kepada sultan (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:42-43).
Sultan Nata juga mengubah sistem pemerintahan di Kesultanan Sintang. Dalam suatu suatu rapat tahunan diputuskan untuk: (1) Menetapkan kerajaan menjadi Kerajaan Islam, yang mengubah bentuk kerajaan menjadi kesultanan, (2) Pemimpin kerajaan bergelar sultan, (3) Menyusun undang-undang kesultanan, (4) Mendirikan masjid dan tempat beribadah, dan (5) Membangun istana kesultanan (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:43).

Masjid Raya Kesultanan Sintang
Selain hukum Islam yang telah diberlakukan, di Kesultanan Sintang juga dibuat undang-undang kesultanan yang terdiri dari 32 pasal. Undang-undang kesultanan kemudian mengalami penyempurnaan dengan tambahan 35 pasal pada masa pemerintahan Panembahan Abdurrasyid Kesuma Negara, sehingga undang-undang kesultanan memuat 67 pasal. Isi undang-undang kesultanan memuat tata kehidupan masyarakat Sintang dan adat-istiadatnya yang semuanya diatur oleh Kesultanan Sintang (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:44).
Pada masa pemerintahan Ade Mohammad Djoen, terjadi perubahan sistem pemerintahan di Kesultanan Sintang. Ade Mohammad Djoen membagi wilayah Kesultanan Sintang ke dalam beberapa disrik. Setiap distrik dipimpin oleh seorang demang. Dalam melaksanakan tugasnya, demang dibantu oleh seorang juru tulis, seorang juru belasting (pajak kepala), seorang opas (pagar praja atau keamanan distrik), seorang mantri jalan, serta beberapa pegawai biasa. Di bawah distrik terdapat onderdistrik (sekarang setingkat kecamatan) yang dipimpin oleh seorang asisten demang dengan dibantu beberapa pegawai (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:127).                    
Pada masa Jepang, sistem pemerintahan di Kesultanan Sintang pada dasarnya tidak berubah. Hanya saja terdapat pergantian beberapa nama sesuai dengan nama Jepang. Misalnya asisten residen sebagai kepala pemerintahan diganti dengan nama Ken Karinkan; Controleur diganti dengan Bunken Karinkan; dan Panembahan disebut Doo Koo (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:139-140). 
Ketika Belanda kembali datang dan menguasai Sintang pada bulan Mei 1946, terjadi perubahan sistem pemerintahan. Afdeeling dibagi ke dalam 4 onderafdeeling, yaitu Onderafdeeling Sintang yang berkedudukan di Sintang, Onderafdeeling Melawi yang berkedudukan di Nanga Pinoh, Onderafdeeling Semitau yang berkedudukan di Semitau, dan Onderafdeeling Boven Kapuas yang berkedudukan di Putussibau (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:165).
Berdasarkan isi perjanjian Konferensi Meja Bundar (KM) di Den Haag pada tanggal 2 Desember 1949, maka dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Atas dasar pembentukan RIS, maka dibentuk 16 negara bagian yang termasuk pula Daerah istimewa Kalimantan Barat. Setelah adanya pengakuan kedaulatan Belanda atas Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 kembali terjadi perubahan sistem pemerintahan di Sintang. Onderafdeeling Sintang berubah menjadi Kabupaten Sintang dengan bupati pertamanya, L. Tobing, Onderafdeeling Melawi menjadi Kawedanan Melawi, Onderafdeeling Semitau menjadi Kawedanan Semitau, dan Onderafdeeling Boven Kapuas Kewedanan Boven Kapuas kemudian menjadi Kabupaten Kapuas Hulu dengan ibukota Pustussibau (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:164-165).
Pada tanggal 17 Agustus 1950, terjadi perubahan dari RIS kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perubahan bentuk tersebut berpengaruh pula terhadap Kesultanan Sintang yang berubah statusnya menjadi swapraja yang kemudian menyerahkan (melebur) kekuasaannya ke dalam NKRI. Berdasarkan peleburan tersebut maka status swapraja mulai dihapus dan dilebur ke dalam Karesidenan Kalimantan Barat dengan gubernur pertamanya, Aji Pangeran Aflus (Syahzaman & Hasanuddin, 2003: 165-166).                      
4. Wilayah Kekuasaan
Pada masa pemerintahan Demong Irawan yang bergelar Jubair I (± 1262-1291 M), Kerajaan Sintang mulai memperluas wilayah kekuasaannya. Kerajaan yang awalnya berpusat di Nanga Lawai (suatu tempat pertemuan antara Sungai Kapuas dan Melawi), kemudian diperluas ke daerah Sepauk, Tempunak, dan Melawi dengan menempatkan wakilnya di bawah kekuasaan Kerajaan Sintang. Sebagai lambang penaklukan, Jubair I membuat batu peringatan Kerajaan Sintang yang disebut dengan “Batu Kundur”. Batu Kundur tersebut terletak di depan bekas istana kerajaan di Kampung Tanjung Ria, Sintang (sekarang Museum Daerah Sintang) (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:21-22).

Batu Kundur
Pada masa pemerintahan Pangeran Tunggal, wilayah kekuasaan Kerajaan Sintang kembali diperluas. Perluasan wilayah kekuasaan tersebut meliputi Sintang, Sepauk, Tempunak, Jetak, Dedai, Gandis, Kayan, Nanga Mau, Nanga Tebidah (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:19).   
Perluasan wilayah kekuasaan yang telah dilakukan oleh Pangeran Tunggal, dilanjutkan ketika Kesultanan Sintang diperintah oleh Sultan Nata. Perluasan tersebut meliputi wilayah Ketungau Hilir dan Ketungau Hulu sampai perbatasan daerah Serawak, daerah Melawi (Nanga Pinoh, Menunkung, Serawai sampai Ambalau yang berdekatan dengan perbatasan Kalimantan Tengah) (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:40-41).
5. Kehidupan Sosial Budaya
Pada masa pemerintahan Raden Purba, pengaruh Islam mulai memasuki kehidupan sosial dan budaya, sehingga terjadi proses saling mempengaruhi antarkebudayaan. Misalnya di bidang seni, pengaruh dari kebudayaan Islam merasuk ke kehidupan istana dan masyarakat dengan masuknya alat musik rebana, musik gambus, dan Tari Zapin (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:40-41).
Pada masa pemerintahan Sultan Aman, setiap tahunnya diadakan perlombaan perahu bagi masyarakat Sintang yang berlokasi di Sungai Kapuas. Perahu yang dilombakan adalah jenis perahu panjang yang sanggup memuat 60 orang, ditambah dengan seorang pengemudi di belakang dan seorang pawang yang duduk di depan sambil memukul gong untuk memberikan semangat bagi para pengayuh perahu (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:68).

Hasil Kerajinan Berupa Tudung Saji Khas Sintang
Penduduk di Kesultanan Sintang juga mengembangkan industri kerajinan rumah tangga. Para penduduk mengembangkan kerajinan mengukir peti kayu dan menenun dengan benang yang berasal dari serat nanas. Penduduk juga telah mengenal teknik pewarnaan benang dengan menggunakan getah kayu atau biasa disebut oleh penduduk setempat dengan istilah jernang (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:70). Selain itu, para penduduk juga mengembangkan kerajinan menganyam rotan dengan hasi produksi seeprti bakul, keranjang, tudung saji, tengkalang (tempat menyimpan pakaian), renjong, dan tikar rotan (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:70). 
Referensi
  • Syahzaman & Hasanuddin. 2003. Sintang dalam lintasan sejarah. Pontianak: Romeo Grafika
  • M.D. Mansoer et.al. 1970. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara.
  • Hermansyah. “Islam dan budaya lokal: Islamisasi budaya masyarakat pedalaman Kalimantan Barat“, dalam Yusriadi & Patmawati (ed.). 2006. Dakwah Islam di Kalimantan Barat. Pontianak:STAIN Pontianak Press.
  • J.U. Lontaan. 1975. Sejarah-hukum adat dan adat istiadat Kalimantan-Barat. Kalimantan Barat: Pemda Tingkat I Kalimantan Barat
Sumbe Foto
  • Syahzaman & Hasanuddin. 2003. Sintang dalam lintasan sejarah. Pontianak: Romeo Grafika
  • http://wisatamelayu.com/
  • J.U. Lontaan. 1975. Sejarah-hukum adat dan adat istiadat Kalimantan-Barat. Kalimantan Barat: Pemda Tingkat I Kalimantan Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar